Weeaboo? Apa Itu? Apakah Kamu Masuk Dalam Kategori Ini?


Sementara pengertian Wapanese adalah seseorang yang cenderung bertingkah laku seakan-akan mereka tinggal di Jepang, meskipun mereka bukan warga negara Jepang dan tidak tinggal di Jepang; mereka berharap mereka terlahir dan hidup di Jepang.

Ungkapan weaboo atau wapanese memiliki suatu kesamaan dimana ungkapan ini ditujukan kepada mereka yang terobsesi dengan budaya Jepang, tidak hanya terbatas pada anime, manga, atau game; tetapi lebih ke budayanya atau yang mereka anggap ‘sangat Jepang’ atau sesuatu yang membuat mereka seakan-akan mereka berada di Jepang, sekalipun kenyataannya mereka BUKANLAH di Jepang. Weaboo atau wapanese dianggap ‘retarded’ atau terbelakang karena mereka dianggap kurang menghargai budaya bangsa dan negaranya sendiri (untuk yang sudah tingkat parah).


Berikut ini adalah ciri-ciri weaboo atau wapanese yang sering ditemukan di Indonesia:

(1) Cenderung mengubah namanya (baik nama panggilan maupun nama di situs-situs social networking, forum, dan sebagainya) dengan nama-nama yang bernuansa Jepang (biasanya nama dari tokoh favoritnya), atau kalau perlu lengkap dengan kanji/hiragana/katakananya; pengubahan nama ini pun tidak hanya secara parsial namun secara keseluruhan. Contohnya misalkan nama aslinya sesuai KTP adalah Dwi Ayu Anggraini, biasa dipanggil Ayu, ia terobsesi dengan anime/manga, lalu ia mengubah namanya menjadi Hoshino Hinamori. Kecuali kalau namanya Ayu Hinamori, atau Ayu ‘Hinamori’ Anggraini, setidaknya dia masih mencantumkan nama pemberian orang tuanya. Perubahan nama mereka ini cenderung cukup mengganggu (terutama dalam social networking seperti facebook) karena cenderung menyulitkan orang lain untuk mencarinya kecuali teman-teman satu minat yang sering bersamanya, apalagi jika namanya sering berubah-ubah. Penggunaan partikel -chan, -kun, -san, dan sebagainya masih bisa ditoleransi.

(2) Profile photo, terutama dalam social networking seperti facebook biasanya menggunakan tokoh anime/manga, aktor/aktris Jepang, atau orang Jepang yang lagi cosplay, nyaris tidak ada foto asli. Kalaupun menggunakan foto asli, biasanya diedit biar terasa nuansa Jepangnya misalnya dihias dengan tulisan Jepang atau bagian jerawatnya ditutupi dengan bunga sakura, misalnya.

(3) Suka atau sering mengikuti acara cosplay (costume playing), dan biasanya kostum yang dipakai adalah yang berkaitan dengan budaya Jepang, misalnya yang Cewe menggunakan yukata, kimono, gothic lolita, seifuku (seragam sekolah untuk Cewe), dan sebagainya; untuk yang Cowo biasanya cosplay menggunakan pakaian seperti yang dipakai oleh personil band-band Jepang. Umumnya rambut mereka pun ikut diwarnai; padahal banyak juga tokoh anime, manga, game, atau aktris/aktor Jepang yang berambut hitam, sama seperti warna rambut orang Indonesia pada umumnya dan tidak perlu diwarnai.

(4) Menyukai lagu-lagu bernuansa Jepang, diatas 90% bahkan cenderung tidak menyukai atau membenci lagu dari negeri sendiri; kecuali dari band negeri sendiri yang bernuansa J-pop atau J-rock seperti J-rocks. Lagu western pun kurang disukai. Playlist lagu mereka dipenuhi dengan lagu-lagu Jepang, kalau video dipenuhi oleh video klip lagu-lagu Jepang dan video live band/musisi Jepang favorit mereka.

(5) Terobsesi ingin belajar bahasa Jepang, berharap mereka bisa tinggal di Jepang dan lancar berbahasa Jepang dengan orang sana. Perlu diketahui bahwa belajar bahasa Jepang itu tidak semudah yang dibayangkan. Bahkan orang Jepang sendiri masih ada yang ambigu (karena ada beberapa kosakata Jepang yang sama pengucapannya tetapi beda huruf kanji dan maknanya), dan masih banyak orang Jepang yang kurang bisa membaca kanji. Apalagi weaboo/wapanese? Kadang bangga dengan Engrish (Englishnya orang Jepang).

(6) Untuk mereka yang membuat manga atau illust dengan nuansa anime, chara (tokohnya) dinamai dengan nama-nama Jepang. Latarnya pun dibuar se-Jepang mungkin, misalkan dengan bunga sakura, memakai kimono/yukata, atau rumahnya seperti rumah orang Jepang. Jarang sekali kita lihat chara yang anime-ish dengan menggunakan batik, memakai nama orang Indonesia, atau dengan latar yang menggambarkan kehidupan di Indonesia sebenarnya. Kalaupun membuat manga dan ingin dipublish, pengarangnya menggunakan pseudonym (nama samaran) dengan nama-nama yang bernuansa Jepang dan tidak menggunakan nama asli. Kalaupun menggunakan pseudonym bukan nama yang bernuansa Indonesia.

(7) Dalam berbicara atau chatting, termasuk wall to wall di facebook, cenderung menyelipkan bahasa-bahasa Jepang, seperti baka, arigatou, gomennasai, konnichiwa, sayonara, desu, dan sebagainya. Tidak semua orang mengerti bahasa-bahasa seperti itu, kecuali kalau dengan temannya yang sehobi atau satu minat.

(8) Weaboo atau wapanese seringkali diidentikkan dengan anime, manga, atau game; tetapi sebenarnya pernyataan itu kurang begitu benar, mengingat intensitas menonton anime, membaca manga, dan bermain game (game dari Jepang seperti Final Fantasy series atau Persona series) mereka lebih identik dengan budaya Jepang, baik budaya secara tradisional maupun kontemporernya. Mereka yang identik dengan anime, manga, atau game cenderung lebih tepat disebut otaku, hikkikomori (untuk yang jarang keluar rumah), bahkan nijikon (untuk yang terobsesi dengan Cewe/Cowo anime/manga/game). Sementara weaboo/wapanese umumnya lebih identik dengan J-music, dorama, tokusatsu, film action Jepang, dan budaya Jepang secara umum seperti bunkasai, bon odori, matsuri, dan sebagainya.

(9) Cenderung bangga dengan barang-barang asli dari Jepang. Kalaupun ada toko yang menjual barang-barang asli dari Jepang, mereka cenderung berbelanja di situ. Baik berupa makanan, figure, peralatan rumah, perabotan dapur, pakaian, dan sebagainya. Untuk beberapa benda yang khusus dijual di Jepang, seperti CD music, figure, book, hingga barang-barang limited edition pun mereka sampai membelinya dengan pre-order internet atau menitip kenalan yang pergi ke Jepang atau orang Jepang sendiri; tidak peduli semahal apapun harganya atau serumit apapun bahasa yang digunakan ‘bahasa planet’.

(10) Untuk makanan dan minuman, mereka cenderung membeli makanan/minuman khas Jepang, seperti sushi, donburi, ramen, ocha, takoyaki, okonomiyaki, dan sebagainya; termasuk makanan ringan seperti Pocky, senbei, atau minumannya Pocari Sweat.

(11) Wapanese atau weaboo biasanya merupakan anggota yang fanatik atau yang paling niat dalam grup-grup tertentu, grup yang berkaitan dengan japan lovers atau cosplay khususnya. Grup semacam ini memang belakangan menjamur, baik di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi, seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang minat dengan hal-hal yang berbau Jepang.

(12) Cowo weaboo/wapanese cenderung terobsesi menjadi bishonen, dimana rambut gondrong model harajuku dan full make-up khas personil Jepang.


Ungkapan weaboo atau wapanese sendiri merupakan ungkapan negatif, dimana mereka dianggap retarded, faggot, dan sebagainya. Namun walaupun begitu setiap orang memang mempunyai hak untuk menyukai sesuatu serta bebas berekspresi. Oleh karena itu ungkapan weaboo atau wapanese mempunyai batasan tertentu, jadi bukan berarti mereka yang menyukai anime/manga/game, suka cosplay, suka budaya Jepang, dan sebagainya itu dapat dengan mudahnya disebut weaboo/wapanese.

Batasan seseorang disebut weaboo/wapanese antara lain:

(1) Kurang menghargai budaya dan negara sendiri. Misalnya menganggap budaya Indonesia itu sampah, tidak ada yang bagus serta berharap terlahir dan tinggal di Jepang. Atau sama sekali tidak menyukai lagu Indonesia karena generalisasi terhadap budaya Indonesia secara asal-asalan.

(2) Kurang menghargai nama, identitas asli, dan penampilan sendiri. Misalnya membenci nama sendiri dan berharap orang tuanya memberinya nama-nama Jepang.

(3) ‘Memalsukan’ profile di facebook atau social networking lainnya, dibuat se-Jepang mungkin dan seakan-akan dia adalah orang Jepang, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Padahal orang Jepang sendiri jarang yang menggunakan facebook dan ber-social networking.

(4) Mengabaikan kewajibannya sebagai pelajar atau mahasiswa untuk proyek yang berkaitan dengan obsesinya. Misalnya rela bolos sekolah untuk membuat kostum untuk cosplay atau rela mengabaikan kuliahnya untuk sibuk dengan band j-pop atau j-rocknya.

(5) ‘Ngambek’ kalau tidak mempunyai barang-barang yang berkaitan dengan Jepang; termasuk mereka yang tidak mau makan kalau makanannnya bukan masakan Jepang. Misalnya sampai mengurung diri di kamar karena tidak punya yukata atau rela tidak makan seharian karena makanannya bukan masakan Jepang seperti sushi, okonomiyaki, dan sebagainya.

(6) Menganggap bahwa Jepang adalah negara terbaik sedunia, sehingga berharap terlahir di Jepang dan menjadi orang Jepang, tinggal di Jepang, serta mempunyai pasangan orang Jepang.

(7) Cowo yang terobsesi ingin menjadi bishonen (Cowo cantik), bahkan mungkin ada yang sampai menjadi yaoi (baik hanya becanda maupun beneran)

(8) Memakai kostum cosplay bukan pada tempatnya, misalnya memakai jaket Persona 4 waktu acara perwalian atau cosplay di kampus sewaktu ada acara reuni angkatan senior (kalau ingin mengambil gambar kan ada acara cosplay atau gathering khusus)

(9) Tidak ada keinginan untuk memajukan bangsa sendiri.

Intinya, cinta sama Jepang sih boleh banget tapi jangan sampai berlebihan dan melupakan bangsa sendiri yaa ^^v

Sumber: http://j-cul.com

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Comments